Minggu, 13 September 2020

Berjuang memajukan anak bangsa

Hari ini saya ingin menulis catatan perjalanan teman saya SPGN Magetan. Namanya Siti Aminah,  Dia lulus SPG tahun 86, rumah aslinya adalah Desa Tambakrejo, sbelah timur stadion.

Setelah lulus dari SPG kemudian melanjutkan kuliah di STKIP PGRI Lamongan. Lulus kuliah tahun 92 melamar guru CPNS di terima, sehingga tahun 93 mulai berdinas di SDN Bojoasri. Sebuah desa yang terpencil saat itu, jalannya sulit, lebih lebih kalau musim penghujan, licin, harus melewati sawah sawah yang berfungsi sebagai tambak. 

Dia diantar oleh seorang bapak yang bernama Suparno dari dinas Pendidikan dan Kebudayaan, saat itu namanya Dikbud. Naik sepeda motor menyusuri desa jauh sekali, jalanya sulit.  

"Lho ini mau kemana pak?" sambil merasa cemas, dalam hati bertanya mau diantar kemana ini saya jalanya kok seperti ini , jauh sekali, kok kelihatan seperti terpencil dan ter... ter... lainnya.

"Iya bu ini menuju sekolah dimana ibu bertugas,"  Jawab pak Parno yang baik hati ini, sambil mengemudikan "honda", sepeda motor tua keluaran pabrik yang pertama.

Menurut dia kedatangannya tidak diterima spenuh hati oleh masyarakat. Karena cerita awalnya tanah yang digunakan untuk mendirikan SD itu adalah tanah wakaf. Pihak muwakif (orang yang mewakafkan ) ingin agar tanahnya digunakan untuk membangun SD ( Sekolah Dasar ), tapi pihak masyarakat ingin didirikan sekolah MI. Akhirnya tetap didirikan SD. 

Berawal dari situ, masyarakat tidak sepenuh hati menyekolahkan anak-anaknya di situ. Dari apa yang diceritakan dapat saya pahami bahwa pandangan masyarakat tentang pendidikan masih rendah, itu "tempo doeloe". 

Masyarakat baik laki-laki maupun perempuan  memakai sarung. Sehingga ketika  bu Siti datang kesana pakai celana Jean dipandu dengan atasan hem, masyarakat dan anak anak melihat seperti itu sebagai pemandangan yang aneh. 

Kalau musim penghujan istri pak Jwd ini,  berangkat ke sekolah pakai perahu, karena  pasti banjir dan kedalamannya mencapai 2 meter. Sudah  bersusah payah ke sekolah seperti itu, muridnya tidak ada yang datang. Ada beberapa yang datang itu malah berenang. 

"Lho kamu kok tidak pakai perahu nak," sapa bu siti pada anak anak yang datang sambil berenang dengan tas dipanggul di punggungnya. Jangan bertanya pakai celana pendek atau tidak, hanya bu Siti yang tahu. Yang ini tidak diceritakan. "Disensor".

"Perahunya di pakai bapak saya ke tambak bu," jawab anak-anak, sambil menggigil kedinginan. Bapaknya kok ya tega ya membiarkan anaknya pergi ke sekolah sambil berenang. Anak- anak Lamongan pandai berenang, karena lahir di daerah banjir, jadi berenang merupakan pembelajaran pertama yang dialami sejak sebelum sekolah.

Teringat teman teman saya semasa kuliah di IKIP Surabaya, mereka betul betul berjuang untuk bisa sekolah di Surabaya. Teman teman saya rata-rata memiliki pemahaman agama yang baik, sholatnya rajin, hubungan dengan teman-temannya juga baik, saling menghormati, saling menghargai dan saling menyayangi. 

Teringat juga tenda biru pak Ari, seorang penjual ayam goreng yang mangkal di depan SMP 3 Maospati. Dia merantau dari daerah asalnya, Lamongan untuk mengadu nasib di Magetan, karena mengingat masa kecilnya yang sering kebanjiran ketika musim penghujan, kalau sekolah harus berenang seperti muridnya bu Siti Aminah.

Tetangga saya namanya Pak Pariyo, bahkan masih ada hubungan saudara dengan keluarga saya, beliau pertama ditugaskan di Lamongan, sekitar tahun 70 an. Beliau alumni SPGN  Magetan juga. Kalau liburan sekolah itu pulang ke Magetan jemari tangannya dan anak istrinya terkena penyakit gudik. 

Tapi itu semua adalah "tempoe doeloe", seiring dengan majunya pendidikan dan jaman orang-orang lamongan bisa memberdayakan tambaknya dengan baik, sehingga produktifitasnya tinggi, akhirnya perekonomian semakin baik dan maju sehingga banyak orang-orang kaya di Lamongan.

Sekarang bu Siti  sudah pindah  di SD Mungli  Kec  Kalitengah,  yang berjarak 1 km dari rumahnya.  Dia sedang berbahagia dengan suami dan 2 anaknya   yang sekarang sedang menimba ilmu di  Malang, dan yang kecil  di MAN Lamongan.

Di sekolahnya  ada 10 orang  guru yang terdiri  dari 6 PNS dan 4 GTT/PTT. , Dengan jumlah siswa 107 anak. 

Selamat  berkarya bu Siti,  perjuangan penjenengan  masih sangat  dibutuhkan  untuk  mendidik  dan mengajar  anak bangsa  untuk  memiliki  karakter yang baik sehingga  memiliki  wawasan  dan  cara berpikir  yang luas , saling menghormati,  saling menghargai  sehingga  menjadi  anak-anak  hebat  berakhlak  mulia  tempat  kita berlindung  dihari  tua  sampai  akhir  menutup  mata. 

Magetan,  14 September  2020


 



6 komentar:

  1. Ingat masa sekolah berkesan sekali
    Saat hujan bersepeda onthelku. Mengayuh terus pedal kehidupan yg terasa, senang susah bwrhambur jadi satu, Pak No, ya. Dengan keterbatasan ekonomi orang tua, kita bersyukur satu diantara kita jalani, sudah nampak hasilnya
    Salam kreatif jalani roda kehidupan ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaa mas, harus banyak bersyukur, jaga kesehatan, perbanyak sabar, tidak mudah marah dan selalu tersenyum

      Hapus
  2. Terharu sekali isi cerita ini selain mengingatkan tentang SPGN Magetan krn alm.Prajitna ( bpk saya ) kmdn dgn berjlnnya waktu Allah kasih kesempatan kita utk bertemu..sungguh luar biasa. Pak Parno Bu Siti semua murid bapak sekelumit cerita adalah bgian dr kehidupan semua sdh ditata sama Allah
    Terus berjuang berkarya Allah senamtiasa meletakkan kita oada derajad yg Mulia...disisiNya....good luck

    BalasHapus
  3. terimakasih mbak Niken, ini muridnya pal Prayit, dibalik itu ada cerita yang lebih mengharukan lagi

    BalasHapus
  4. Mbak Aminah ....kita pernah satu kost
    Semoga mulia hatinya seperti dulu ya...
    Pak Parno teruslah berkarya

    BalasHapus