Sejak kecil hidupku penuh ujian, kata orang ujian itu akan membuat orang naik kelas, akan membuat orang lebih bijaksana, akan membuat orang memiliki level yang tinggi.
Yang namanya dirasani orang itu sudah biasa. Bukan karena ulahku yang nakal atau tidak beres. Tetapi lebih disebabkan rasa iri , dengki yang dimiliki.
Kehidupan masyarakat saat itu jauh sekali dari agama, yang namanya isu santet itu sudah biasa. Yang berwibawa adalah orang yang sebenarnya jahat , tapi dibalut oleh kelicikan akal bulusnya.
Aku suka belajar agama, karena dengan itu menentramkan hatiku, disitu ada keadilan, disitu ada harapan. Disitu akan ada balasan orang yang berbuat jahat, disitu ada pahala bagi yang melakukan kebaikan. Orang jahat akan celaka orang beriman dan bertaqwa akan menjadi kaya dan berbahagaia di alam akhirat sana.
Bahkan tidak saja di akherat, mulai di dunia ini akan diberi rezeki yang tidak disangka sangka datangnya, akan diberi jalan keluar permasalahan hidupnya. Itulah yang dijanjikan dalam agama.
Tanggal 29 Februari 2021 saya dibawa ke rumah sakit, karena badanku demam tinggi, berhari hari tidak reda. Sebenarnya demam itu dimulai tanggal 25 Februarai, diawali dari batuk kecil kemudian saya belikan obat batuk flukadek.
Batuknya reda tapi demamnya yang tetap tidak berubah. Kemudian aku minta di bawa ke dokter.
"Sakit apa pak?", tanya dokter sambil tergesa gesa memeriksa tubuhku, karena pasien yang antri banyak.
"Batuk pak dokter ", jawabku sambil menyibakkan pantatku karena mau di suntik. Dokter yang satu ini biasanya kalau nyuntik sakit, tapi habis itu sembuh.
Agamanya sangat baik. Walaupun pasiennya banyak kalau mendengar suara adzan maka meninggalkan praktekkan dan ikut sholat jamaah di masjid.
Tarifnya murah sekali hanya 48.000. Padahal kalau saya pijat ke dukun tarifnya 50.000. Dokter kuliahnya sulit biayanya mahal. Hanya anak orang kaya yang berani kuliah di kedokteran.
Sedang dukun pijat tidak lulus SD tarifnya 50.000. Seperti dunia terbalik saja. Pernah saya dipijat, nanti malamnya malah sakit nyeri tak tertahankan hingga malam itu juga saya dilarikan ke rumah sakit Griya Husada. Untung tertolong dan sembuh. Sejak itu kapok aku.
Saat dibawa ke rumah sakit itu kesadaranku antara sadar dan tidak, rasanya seperti ngantuk berat. Saya diantarkan oleh Diar, anakku yabg pertama dan istriku. Istriku menangis saja dalam perjalanan karena melihat kondisiku yabg seperti itu.
"Bertahan ya bi, kita berobat ya bi." Istriku menghiburku.
Aku hanya bisa menjawab singkat, "ya." Kemudian tidur lagi. Tetapi dalam tidur itu saya sadar ini perjalanan ke rumah sakit.
Dalam hatiku hanya membaca istighfar, mohon ampunan Allah, sampai capek sampai tidur. Berharap Allah memberikan jalan keluar atas permasalahan kesehatanku.
"Kita sudah samapai rumah sakut griya husada Bi, persiapan ya," istriku memberitahu seraya membangunkan keasadaranku. Lagi- lagi aku hanya menjawab,"ya."
Diar menghampiri petugas dan minta tolong untuk proses pengobatan, tapi jawabannya petugas, "maaf pak di rumah sakit ini tidak ada ruang observasi." Kami tidak paham, masa iyya rumah sakit kok tidak punya ruang observasi. Singkat cerita kami di tolak.
Kemudian ke RSI , sebuah rumah sakit besar swasta yang ada di Madiun, kami berharap bisa di tolong di sini. Ternyata di sini ruangnya sudah penuh.
"Itu pak ada pasien yang antri untuk mendapatkan kamar." Petugas itu jari telunjuknya menunjuk seorang paruh baya yang tampak sakit sedang duduk di kursi.
Akhirnya istriku menghubungi pak Hermanto, tetanggaku yang bekerja di rumah sakit umum Madiun agar aku bisa ditolong mendapatkan kamar.
Yang ada dihati kami adalah aku harus ngamar di rumah sakit agar mendapatkan perawatan yang intensif.
"Pak Her, Bapaknya sakit, kami minta tolong bagaimana agar bapaknya bisa opname di Merpati, bisa mendapatkan kamar. " Istriku menelepon pak Hermanto.
"Oo iyya mbak, di bawa saja ke UGD, biar ditangani awal di sana."
"Oo iyya pak Her, terima kasih."
Kemudian aku di bawa ke UGD, dan dibawa ke ruang observasi. Aku diambil sampel darahnya untuk di cek imun antibodi. Tidak itu saja aku juga difoto ronxen. Kami manut saja tindakan yang diberikan padaku. Lama sekali aku berada di ruang ini, istriku selalu mendampingiku.
"Bi bangun, membaca istighfar."
"Iya," aku berusaha membuka mataku dan membaca istighfar, aku serasa berada di tempat yang tenang lama-lama tertidur, tapi aku mendengar percakapan orang-orang di sekelilingku.
Terdengar suara adzan, oo sudah waktunya magrib, istriku memberitahukanku untuk sholat magrib. Kemudian aku sholat magrib semampuku hanya gerakan-gerakan sederhana yang bisa ku lakukan.
Setelah selesai sholat magrib datanglah seorang petugas menjelaskan mengenai sakitku.
"Bu.., suami ibu dari hasil pemeriksaan bagus, swab antibodi hasilnya bagus, paru parunya juga bagus. Suami ibu bisa di bawa pulang, nanti dikasih obat dari sini. Jadi cukup rawat jalan saja." Ternyata petugas ini adalah dokter. Masih muda, cantik dan ramah. Istriku setengah tidak percaya.
"Kami ingin opname saja bu dokter agar suami saya mendapatkan perawatan yang baik di sini." Istriku tetap berkeinginan aku di rawat di rumah sakit.
"Iya tapi tidak ada alasan suami ibu untuk opname," terjadi perdebatan antara istriku dengan dokter muda itu.
"Bapak, coba genggam dua jari saya ini." Aku menggenggam jari bu dokter muda itu dengan sepenuh kekuatanku.
"Ini lho bu genggaman tangan Bapak ini masih kuat" jelas bu dokter.
Istruku baru percaya dan akhirnya ikut arahan bu dokter, aku dibawa pulang. Aku dikasih obat dan diberi tahu nanti tanggal 1 kontrol lagi.
Kemudian kami pulang, obatnya diminum, makan juga masih bisa aku lakukan. Kalau siang hari badanku sudah tidak panas, tapi kalau malam hari sekitar jam 3 pagi, badanku panas kemudian keluar keringat, setelah itu panasnya reda.
Seperti itu kondisiku setiap hari.
Tanggal 1 kami kontrol di RS Merpati, aku diperiksa dokter, tapi periksanya hanya interview saja. Dalam kondisi pandemi seperti ini jarang sekali dokter menyentuh pasiennya, barang kali beliau juga takut, kalau pasiennya terinveksi virus corona. Kemudian tertulari.
Setelah interview mengenai apa yang aku rasakan, Aku disuruh swab antigen di lab Persada. Jaraknya 100 m dari RS Merpati, dengan badan serasa ringan melayang aku diantar Diar ke Lab Persada.
Diar adalah anakku yang pertama, dulu pernah daftar Polisi tahun 2013, tapi tidak lolos. Aku suruh mengulangi lagi tidak mau. Akhirnya sekarang menekuni profesinya sebagai penata sound system. Dia sudah punya 2 set sound system sekarang.
Barangkali hikmahnya di sini, tampaknya Dia yang akan dekat denganku sampai hari tuaku. Dialah yang mengantarkan aku ke dokter kalau sakit. Kalau jadi Polisi tugasnya jauh, barangkali hanya bisa bertemu setahun sekali. Tidak bisa mengantarkan ke dokter kalau Bapak Ibunya sakit.
Dari hasil swab antigen hasilnya positif, "ya Allah." Aku diam membisu banyak diskusi dihatiku. Sampai kemungkinan terburuk bila terjadi apa-apa pada diruku. Aku kembali pada dokter tadi.
"Op name ya Pak".
"Iya bu Dokter siap." Saya pasrah apa yang akan terjadi dengan diriku yang sebenarnya agak takut. Takut berpisah dengan istriku, takut kalau-kalau ini adalah hari hari terakhirku.
Aku diarahkan ke ruang UGD lagi, diofservasi lagi, dan hasilnya ada dua pilihan. Opname atau isolasi mandiri di rumah. Aku ingin opname tapi tidak ada ruang tersedia. Ruangnya penuh semua. "Ya Allah." Sejak itu aku dinyatakan Covid-19. Sebuah penyakit yang ditakuti oleh orang seluruh dunia. Antara hidup dan mati dipertaruhkan. Tetapi semua itu harus tunduk pada takdir Allah. Kalau ajalku belum tiba, pasti aku sembuh.
Aku pasrah, pasrah pada dzat yang maha Rohman dan Rohiim. Mulutku hanya berkomat- kamit membaca istighfar, hatiku hanya mengingat sang Kholiq. Pikiranku tidak boleh kosong. Pikiranku harus terarah seperti ajaran agama yang diajarkan guru spiritualku.
Sebelas bulan lalu aku berguru ilmu torikoh pada Bu Nyai Nuning Siti Sunarni, sebagai pewaris ilmu torikoh dari eyang KH Abdurohman yang tinggal di Pesantren Tegalrejo, yang dikenal sebagai waliyulloh pada jaman Belanda, tahun 1835. Beliau adalah salah satu pengikut Pangeran Diponegoro.
Kembali pada keputusan istriku, akhirnya aku dibawa pulang isolasi mandiri, dengan dipantau oleh rumah sakit. Mulai tgl 1 Februari 2021 aku isolasi mandiri. Istriku menerapkan protokoler kesehatan secara ketat.
Tanggal 1,2,3,4 adalah masa masa krisisku, kalau malam badan panas, keluar keringat. Tidak merasakan lezatnya makanan, tidur tidak nyenyak, mimpiku selalu buruk. Sampai nengigau, tak ada yang membangunkan karena istriku tidur ditempat yang agak jauh.
Walaupun tidak merasakan lezatnya makanan tapi aku harus memaksa makan yang banyak agar aku bertahan dan segera sembuh.
Setelah hari ke 4 panasku reda, aku mulai menikmati lezatnya makanan, tapi tidurku tidak pulas. Aku merasa tidak ngantuk , setiap malam pukul 01.00 aku bangun untuk sholat malam, setelah itu membaca Al Qur'an. Pelan-pelan tilawahku, alhamdulillah kadang-kadang bisa dapat 12 halaman.
Di saat sehat ya sering bangun malam, tetapi tidak membaca Al Qur'an. Itulah hikmahnya orang sakit itu dekat dengan Allah. Kalau tidak pernah diberi sakit sering kali sombong, kadang malah lupa pada Allah. Lebih dari itu malah mengaku sebagai Tuhan , seperti Fir'aun.
Firaun itu flu saja tidak pernah, akhirnya sombong, mengaku sebagai Tuhan.
Hari ke 5 isolasi mandiriku bertambah sehatnya, aku mulai bisa menulis, mengisi blogku. Aku sebenarnya berkomitmen setiap hari menulis di blog.
"Mbok ya jangan setiap hari menulis terus to pah, biar agak santai, mbok nyanyi -nyanyi gitu." Ungkap istriku. Istriku mungkin tidak tahu bahwa menulis itu juga hiburan yang menyenangkan.
Aku tidak mau berdebat dengan istriku yang telah merawatku setiap hari. Aku hanya mengatakan , "iyya."
Semua tulisanku bisa dilihat di suparnomuhammad.blogspot.com.
Dari tulisan ku itu orang tahu kalau aku sakit, apa yang aku lakukan, obat apa yang aku minum dan sebagainya.
Selama aku sakit aku mendapatkan kiriman macam-macam dari teman-teman ku , aku jadi terharu atas ketulusan hati mulia mereka, seperti mas Doktor Sugeng Harianto yang tinggal di Malang, beliau mengirimkan banyak obat-obatan untuk menyembuhkan sakitku. Obat ini telah terbukti menyembuhkan istrinya yang juga pernah terinveksi Covid-19.
Alina Nirmala sahabatku guru BK SMP 2 Ngariboyo, juga mengirimkan obat-obatan untuk kesembuhan ku.
Adalagi muridku Septeria, mengirimkan madu bawang lanang. Septeria adalah muridku ketika di SMP 2 Kaweadanan yang sekarang telah sukses berwiraswasta memiliki toko madu di 2 tempat. Yang lain masih banyak juga sahabatku yang memberikan kebaikan apa saja.
Ya Allah mereka baik sekali padaku, semuanya ku serahkan padaMu untuk memberikan balasan yabg lebih baik, dan lebih banyak dan barokah tentunya.
Setiap hari aku menulis, di hari yang ke 24 aku menuliskan aku sudah lulus, lulus dari ujian terbesarku dalam hidupku. Covid-19, penyakit yang ku takutkan sejak 16 Maret 2020 ini akhirnya sampai juga ditubuhku tanggal 29 Januari 2021.
Virus yang induk semangnya dari Wuhan, China inilah yang memporakporandakan tatanan kehidupan bangsa-bangsa di seluruh dunia. Tapi semuanya itu ada yang menggerakkan, Allah SWT. Untuk memberikan peringatan kepada manusia agar hidupnya lebih baik, agar Ibadahnya lebih tekun, agar kepasrahannya lebih totalitas. Agar imannya menubgjat. Agar lebih dekat dengan Tuhannya.
Aku selalu berdoa semoga pandemi ini segera berlalu, agar rakyat bisa bekerja, agar anak anak bisa sekolah, bisa ngaji di Mesjid, agar jamaah haji di seluruh dunia bisa berangkat tahun ini, untuk bersama menangis dalam sujudnya, mengadukan permasalahan pada Robnya.
Mereka semua sudah rindu melihat makam nabinya, yang menuntunnya kepada hidayah, yang memberikan syafaat kelak di hari qiamat.
Mereka semua sudah rindu tersungkur sujud mensyukuri atas penciptaanny di dunia, atas rezeki yang diterimanya, dan tentang apa saja yang diberikan padanya.
Mulai kemarin aku bilang pada istriku, aku ingin ke Masjid.
"Nanti kalau oleh orang-orang tidak boleh bagaimana Pah?" Tanya istriku meyakinkan keinginanku.
"Kalau nggak boleh ya pulang mi," jawabku.
Memang aku tahu tidak semua orang senang denganku. Aku pikir ini juga berlaku bagi semua orang. Tidak semua orang menyenangi kita, sebaik apapun kita.
Tapi bagiku tidak masalah yang penting Allah senang pada kita. Kalau Allah senabg dengan kita semua masalah akan selesai dengan cantiknya. Akan ada jalan keluar dengan indahnya.
Oleh karena itu aku berpikir, sebenarnya yang paling penting adalah bagaimana kita membangun hubungan baik dengan Allah. Itu saja.
Magetan, 24 Februari 2021