Selasa, 01 Desember 2020

Hujan menjelang malam


Hujan rintik  rintik  sehabis  magrib  tak berhenti  mengguyur  desa kami, akan tetapi  tak menyurutkan langkah kecilnya Martani menuju  Masjid.  Sebuah tempat  yang menentramkan hatinya  sejak kecil  hingga dewasa.

Cerita  Martani  memang  hanya  ada 4 titik,  rumah, sekolah,   masjid dan  kebun,  kecuali  ada keajaiban  dari Allah yang luar  biasa. Kalau  Martani  pernah  ke Jogja itu juga karena tugas mendampingi  anak-anak  karya wisata,  kalau  Martani pernah  ke Surabaya,  itu  karena  tugas penataran  sebagai  I N(Instruktur  Nasional). Yah seperti  itu.

Selepas pulang  dari  Masjid,  Dia duduk di kursi  reot,  pemberian  warisan  dari buliknya yang  ada di Kota. Sudah  10 tahun, sponya  tepos, karena  diduduki  setiap  hari. Dulu  ada temanya  yang  bertubuh  bongsor  duduk  di situ  akhirnya  bokrak. "Krak," suara  itu  yang membuat  trauma kalau  punya  tamu  berbadan gendut.

"Ini Kang teh hangat, " sapa istrinya  dari  dalam  sambil  membawa  jajan bakpia patok,  pemberian  Kepala  Sekolahnya, karena  pulang  dari Jogja.

Sudah  tiga hari  jajan itu  tidak dimakan, karena  biar  dimakan  anaknya,  kalau  anaknya  sudah  tidak  mau makan,  baru  itu  rezeki  Dia.

"Kok  tidak manis bune?" Tanyanya sambil  menoleh  istrinya yang duduk disampingnya.
"Maaf Kang gulanya  habis." Mendengar itu  Martani bagai  disambar  petir  di siang bolong. Betapa  seorang  ayah tidak bisa  mencukupi  kebutuhan  keluarga. 

"Maafkan aku  ya Bune."
"Tidak apa apa Kang."
"Aku minum  teh tidak manis  juga tidak  apa apa, sambil  minum teh,  aku  melirik  bune  yang manis,  sama saja."
"Terima kasih Kang."

Tangannya  mengambil  bakpia  pathok di depannya  yang sejak tadi  belum disentuh. 

"Rasanya  manis Bune,  seperti  dirimu. 
Lezat sekali, semoga besuk  di akhirat  kita juga bisa makan  seperti  ini ya Bune.
Mosok  kita  ini  di dunia sudah  miskin   di  akhirat  nanti  miskin  lagi.
Kita di Akherat harus jadi  orang kaya Bune."
 
"Aamiin, ya jangan di akherat  saja to  Kang. Didunia  kaya, di akherat  juga kaya." 

"Aamiin."

"Jadi orang miskin  itu  tidak enak. Diejek, dihina, direndahkan orang , sakit  rasanya." 

"Tapi  nggak apa apa Bune  semua  itu  sudah diatur  oleh  Allah.
Biarpun orang seluruh  dunia mengejekku, menginjakku,  selama  dihatiku  masih punya Allah aku akan baik-baik  saja."
"Iya Kang,  semoga Allah memberikan  kesabaran  kepada kita." 

Hujan semakin deras, malam semakin pekàt,  cuaca  bertambah dingin,  kedua insan ini  masih  berdiskusi,  karena hanya dia teman yang memahami  satu dengan yang lainnya. Alhamdulillah  Tuhan memilihkan jodoh  yang baik.  Wanita  sederhana  yang sholihah,  yang  menentramkan  hatinya saat Dia memandangnya. 

Magetan,  1 Desember  2020

9 komentar:

  1. Mantul jadi cerita bersambung ini. Martani. Lanjut

    BalasHapus
  2. Mantul jadi cerita bersambung ini. Martani. Lanjut

    BalasHapus
  3. Bagus ceritanya mengajarkan keoada kita untuk bisa sabar dalam menjalani kehidupan ini..

    BalasHapus
  4. terima kasih Bu Emidawati yang baik hati , salam kenal

    BalasHapus
  5. Penyajiannya ringan,.buat pembaca membaca tanpa beban. Sukses selalu pak👍

    BalasHapus
  6. Martani jd Brand Top deh....

    Betul kaya ataukah miskin di dunia Allah sdh tetapkan bahkan 50.000 tahun sebelum manusia lahir. Miskin spy kita lebih sabar dlm kesempitan dan kaya spy kita lebih pandai utk bersyukur. Dua hal itukah urusannya orang yg beriman yg selalu menyenangkan. Dlm kondisi apapun krn selalu dekat d ingat Allah..

    Terima kasih sababat...selalu menyempatkan utk kirim blog di WA saya..tetap sehat semangat good luck.

    BalasHapus
  7. Sama-sama Jeng niken sudah berkenan membacanya, terima kasih

    BalasHapus