Rabu, 21 Oktober 2020

Sepanjang jalan Surabaya

sumber ilustrasi : dokumen pribadi 

Tadi pagi saya ke Surabaya untuk keperluan kedinasan. Berangkat  dari rumah  sejak habis  subuh pukul 04.20 WIB. Saya diantarkan senior  saya Abah HM Syaikur (HMS). Beliau Oktober  ini memasuki  masa purna  tugas  dari KS  SMP1 Kawedanan. Tapi masih  tampak sehat,  senyumnya  masih  renyah seperti  dulu,  candanya  masih segar. Saya kagum senior  saya yang satu ini hatinya  baik , dermawan dan pandai menyesuaikan diri dalam pergaulan di kalangan  manapun. Ini yang perlu  kita  adopsi dalam menapaki  garis kehidupan  seorang leader. 

Sepanjang  perjalanan kami lihat  hijaunya  tumbuhan di sekitar  jalan tol,  yang digagas  Bapak Jokowi ini. Jalannya halus mulus  hingga mobil  yang saya tumpangi  melaju kencang mencapai  kecepatan 140 km/jam.

Sesampainya  di jalan A. Yani kami mengamati  sekeliling  jalan yang dipadatai  dengan tanaman hijau bunga bunga  yang tumbuh subur. Sepanjang jalan  juga kelihatan bersih,  padahal  tidak kami jumpai  seorangpun  yang sedang menyapu  atau bersih  bersih.
Tentang bau juga begitu,  tidak ada bau tak sedap  di sepanjang  jalan, daerah, atau lokasi. Tahun 86 kita dapati  selokan  selokan tidak bersih,  baunya tak sedap, ada pesing, ada comberan. 

Pernah saya mengikuti  kegiatan MENWA, kami disuruh jalan lewat parit kadang ada airnya  kadang ada sampahnya, dan tak sengaja sepatuku menginjak bangkai tikus  got yang sudah  ada set nya. Perut  saya langsung mual, rasanya mau muntah.

Tapi itu  dulu, sekarang  betul betul berubah  180 derajat.  Ketika bu Risma baru menjadi walikota  sungai  sungai di keruk limbahnya,  sehingga bersih,  àir mengalir sampai  ke laut. 

Tentang bersihnya jalan jalan itu saya berpikir,  ini  kapan membersihkannya, bagaimana  cara petugasnya bergerak,  dan penggeraknya pasti  orang hebat. Juga terus berpikir  bagaimana  ini semua  bisa terjadi di sekolahku. Ya...., kami sudah melakukan menanam  nanam, menghias hias, berbenah   benah, merapikan,  membersihkan , merehab, membangun. Tapi masih belum seperti  Surabaya.  

Bu Risma  perlu  10 tahun untuk menjadikan Surabaya seperti  sekarang,  saya baru 1,5 tahun  di sekolah yang baru. Tapi saya terus semangat  minimal  menjadikan  sekolahku  lebih baik  dari sebelumnya  yang sudah baik. Syukur  lebih dari itu. Saya menamakan itu capaian seorang kepala sekolah.

Memang itu semua  perlu  dana yang tidak sedikit,  tapi yang lebih penting  lagi minset. Membangun minset  sama saja dengan  membangun peradaban,  membangun kesadaran untuk  mewujudkan  kehidupan masa  depan yang lebih baik. Walaupun  kadangkala  ada yang tidak suka. Itu adalah kendala,  hambatan, rintangan  yang harus  direduksi  seperti  sungai  yang  mengalir,  kemudian  ada sampah  sampah  yang terhenti, berserak,  maka perlu dibersihkan  agar  aliran sungai   dapat mengalir deras  dan bersih. 

Saya diajak  makan siang di depot soto Wawan, soto madura dengan aura cita rasa yang berbeda kekhasannya. Satu porsi Rp. 27.000,  satu piring nasi putih dan semangkok sayur soto  dengan daging  sapi  yang dipotong  sebesar ibu jari orang dewasa,  tapi empuk dan mak nyusss.

Waktu  saya kuliah  setiap  hari  sarapan saya soto madura  Cak Samsul, yang selalu mangkal di depan pondok kami. Waktu  itu  tahun 88 semangkok  dengan harga Rp.300,-
Murah sekali.  Benar  benar harga mahasiswa, Mahasiswa  IKIP.

Cak Samsul  hatinya baik,  kalau  kami  nggak punya uang, ngutang  juga boleh. Tapi tak pernah saya lakukan itu,  uang jatah dari Ibuku sudah cukup,  walaupun  tidak berlebih.  Saya dapat amalan dari Kyai pondok,  agar rejeki  orang  tua lancar,  bacalah surat  al Waqi'ah, setiap hari.  Itu  saya amalkan terus  sampai  saya hapal  surat ke 56 sebanyak 96 ayat dalam 4 halaman itu. Sehingga  rezeki Bapakku bisa lancar dan cukup. Wallohu a'lam. 

Magetan, 21 Oktober  2020.




















2 komentar:

  1. Menginspirasi betul perubahan tidak bisa terjadi scr instan perlu suatu perjuangan. Perubahan yg instan adalah mutlak kerusakan . Selamat

    BalasHapus