Senin, 15 Maret 2021

Petani sambil menjadi Tukang

Kesadaranku  mengingat sebuah peristiwa  atau kejadian  kurang lebih umur 3 tahun.  Saat itu  seperti  anak kecil kebanyakan suka menggambar. Gambar yang yang ku kenal pertama kali adalah gambar  kuda. 

Ayahku  yang menggambarkannya. Saat  itu  saya berimajinasi  gambar  itu seolah-olah  kuda sungguhan. 

Ayahku bernama Samirun anak dari mbah Sodikromo,  cucu dari mbah Kerto Taruno  seorang  lurah desa Pojoksari  yang konon istrinya  dua.

Ayahku bukan orang ternama juga bukan orang yang berpengaruh hanyalah seorang rakyat  kecil  dari lapisan  bawah yang jujur  dan suka kerja keras.

Beliau bekerja sebagai  petani, apapun yang ditanamnya  selalu  tumbuh subur dan berbuah  banyak. Tetapi sejak jaman dahulu  hingga sekarang  harga hasil pertanian  selalu  rendah. Akhirnya  kehidupannya  juga biasa  biasa saja.

Disamping  petani  juga sebagai  tukang  menggergaji kayu jati. Dulu di kampungku  orang  kaya rumahnya  terbuat  dari kayu  jati.  Rumah kayu  adalah status sosial. 

Biasanya  belinya glondongan kemudian dibelah di rajang  menjadi  sesuai  kebutuhan. Itulah tugas keseharian  ayahku  kalau sedang  ada job, pesanan  dari orang-orang  kaya. 

Biasanya  ada satu bulan bekerja  di satu rumah,  tidak tahu berapa  bayarannya,   Beliau  tidak nematok  harga  seperti  tukang sekarang.  Jadi sesuai  dengan kemampuan dan keiklasan yang menyuruh. 
 Bekerja  keras, diawasi  atau tidak diawasi sama  saja,  tetap menunjukkan kinerja  baik. Maka tidak heran  bila  diundang kerja  sampai di luar  daerah.  Cukup terkenal  namanya. 

Tinggi badannya sekitar 158 cm, badannya  kekar berotot, karena olah raganya menarik  dan mendorong  gergaji besar ke atas dan ke bawah  secara  berirama. 
Seperti gambar  itulah  ayahku  bekerja.

Pekerjaannya  seiring perkembangan  jaman tahun 1980 an  tidak laku, karena  munculnya  gergaji dengan kekuatan  mesin,  dikenal dengan gergaji selendang.  Biasanya  dimiliki  oleh perusahaan  mebel besar. Yang kedua masyarakat  sudah  beralih tidak menggunakan  kayu jati,  tetapi  menggunakan kayu balau atau kayu Kalimantan.  Harganya  lebih murah,  tapi keras,  pengerjaannya  lebih sulit, tapi  semuanya  sudah bisa diatasi  dengan alat alat  yang serba mesin.  Seperti pasah, bor, gergaji  kecil,  dll. 

Akhir-akhir   ini  ( tahun 2011) malah beralih ke galfalum , atau baja ringan. Lebih praktis tapi kalau roboh satu rangkaian  semuanya  ikut  roboh  semuanya. Seperti  itulah semua ada plus minusnya. 

Pada kesempatan  ini saya menuliskannya  kisah beliau  secara  berseri,  saya sebagai anaknya merasa terpanggil untuk  menuliskan  agar cerita ini bisa sampai ke cucu, buyut  keturunannya.  

Karena sampai saat  ini tidak ada cara melestarikan  cerita  sejarah terbaik,  selain menuliskannya.  Kalau orang terkenal banyak yang menuliskannya,  kalau orang tidak terkenal  siapa yang menuliskannya kalau tidak  anaknya.  

Magetan,  15 Maret  2021.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar