Sambil mendengarkan lagunya Bang H. Roma Irama mobil yang saya tumpangi melaju pesat menyusuri jalan tol yang dibangun pak Jokowi ini.
Lagunya bang Haji judulnya Gelandangan
Kering sudah rasanya air mataku
Terlalu banyak sudah yang tertumpah
Menangis meratapi buruk nasibku
Nasib buruk seorang tunawisma
Langit sebagai atap rumahku
Dan bumi sebagai lantainya
Hidupku menyusuri jalan
Sisa orang yang aku makan
Langit sebagai atap rumahku
Dan bumi sebagai lantainya
Hidupku menyusuri jalan
Sisa orang yang aku makan
Jembatan menjadi tempat perlindungan
Dari terik matahari dan hujan
Begitulah nasib yang aku alami
Entah sampai kapan hidup begini
Terlalu banyak sudah yang tertumpah
Menangis meratapi buruk nasibku
Nasib buruk seorang tunawisma
Langit sebagai atap rumahku
Dan bumi sebagai lantainya
Hidupku menyusuri jalan
Sisa orang yang aku makan
Langit sebagai atap rumahku
Dan bumi sebagai lantainya
Hidupku menyusuri jalan
Sisa orang yang aku makan
Jembatan menjadi tempat perlindungan
Dari terik matahari dan hujan
Begitulah nasib yang aku alami
Entah sampai kapan hidup begini
Lagu tersebut mendeskripsikan nasib seorang tuna wisma, yang hidup di kota. Memang lengkap kehidupan dikota, rumah yang paling bagus, ada di kota, tetapi rumah yang paling buruk juga ada di kota.
Kalau ingin hidup di kota harus siap perjuangan, lebih-lebih yang tanpa modal SDM yang baik maka harus siap panas terik Matahari, dinginnya hujan , karena tak ada tempat berteduh , tak ada tempat berlindung digelapnya malam.
Wah tak terasa sampai nganjuk, melewati tengah tengah hutan jati yang hijau. Mobil kami sering disalip kendaraan lain, bukan karena mobilnya jelek, atau sopirnya udah tua, tapi karena kami menikmati perjalanan ini dengan sepenuh hati.
Tahun 86 dulu kalo ke Surabaya naik Bus Indrapura, Busnya orang Magetan. Jalannya pelan-pelan, sampai Surabaya butuh waktu 5 jam.
Sekarang lewat jalan tol hanya butuh waktu 1,5 jam. Ya Allah... mendung semakin gelap, awan berjalan perlahan menemani perjalananku di awal Januari, menuju kota dimana aku pernah sekolah di Perguruan Tinggi.
Ada sahabatku yang mantu, mas Ndan Bambang Sukarno, teman SNESTI yang baik hati.
Pukul 17.00 tepat kami sampai di Surabaya, di kota bersih, indah mempesona
Tidak ada komentar:
Posting Komentar