Ayahku yang menggambarkannya. Saat itu saya berimajinasi gambar itu seolah-olah kuda sungguhan.
Ayahku bernama Samirun anak dari mbah Sodikromo, cucu dari mbah Kerto Taruno seorang lurah desa Pojoksari yang konon istrinya dua.
Ayahku bukan orang ternama juga bukan orang yang berpengaruh hanyalah seorang rakyat kecil dari lapisan bawah yang jujur dan suka kerja keras.
Beliau bekerja sebagai petani, apapun yang ditanamnya selalu tumbuh subur dan berbuah banyak. Tetapi sejak jaman dahulu hingga sekarang harga hasil pertanian selalu rendah. Akhirnya kehidupannya juga biasa biasa saja.
Disamping petani juga sebagai tukang menggergaji kayu jati. Dulu di kampungku orang kaya rumahnya terbuat dari kayu jati. Rumah kayu adalah status sosial.
Biasanya belinya glondongan kemudian dibelah di rajang menjadi sesuai kebutuhan. Itulah tugas keseharian ayahku kalau sedang ada job, pesanan dari orang-orang kaya.
Biasanya ada satu bulan bekerja di satu rumah, tidak tahu berapa bayarannya, Beliau tidak nematok harga seperti tukang sekarang. Jadi sesuai dengan kemampuan dan keiklasan yang menyuruh.
Bekerja keras, diawasi atau tidak diawasi sama saja, tetap menunjukkan kinerja baik. Maka tidak heran bila diundang kerja sampai di luar daerah. Cukup terkenal namanya.
Tinggi badannya sekitar 158 cm, badannya kekar berotot, karena olah raganya menarik dan mendorong gergaji besar ke atas dan ke bawah secara berirama.
Seperti gambar itulah ayahku bekerja.
Pekerjaannya seiring perkembangan jaman tahun 1980 an tidak laku, karena munculnya gergaji dengan kekuatan mesin, dikenal dengan gergaji selendang. Biasanya dimiliki oleh perusahaan mebel besar. Yang kedua masyarakat sudah beralih tidak menggunakan kayu jati, tetapi menggunakan kayu balau atau kayu Kalimantan. Harganya lebih murah, tapi keras, pengerjaannya lebih sulit, tapi semuanya sudah bisa diatasi dengan alat alat yang serba mesin. Seperti pasah, bor, gergaji kecil, dll.
Akhir-akhir ini ( tahun 2011) malah beralih ke galfalum , atau baja ringan. Lebih praktis tapi kalau roboh satu rangkaian semuanya ikut roboh semuanya. Seperti itulah semua ada plus minusnya.
Pada kesempatan ini saya menuliskannya kisah beliau secara berseri, saya sebagai anaknya merasa terpanggil untuk menuliskan agar cerita ini bisa sampai ke cucu, buyut keturunannya.
Karena sampai saat ini tidak ada cara melestarikan cerita sejarah terbaik, selain menuliskannya. Kalau orang terkenal banyak yang menuliskannya, kalau orang tidak terkenal siapa yang menuliskannya kalau tidak anaknya.
Magetan, 15 Maret 2021.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar