Seperti biasa saya kalau pagi berjabat tangan dengan anak-anak dipintu gerbang sekolah sambil menyaksikan sibuknya masyarakat Parang di pagi hari. Udaranya sejuk karena banyak pepohonan hijau di sini.
Sekarang tanahnya subur masyarakat bisa menanam jagung dimusim kemarau. Kok bisa? Karena majunya teknologi di sini banyak sumur sibel yang siap mengairi sawah.
Dulu masyarakat kalau mandi disungai, sekarang dirumah rumah sudah ada kamar mandi.
"Dulu menjadi bahan ejekan anak-anak parang Kalau sekolah pagi tidak mandi", kata temenku Kayubi KS SDN Mategal 1 ini.
Sekarang dunia berubah ; kehidupan masyarakat sudah makmur.
Jadi ingat Pak Haji Syamsudin, kami bertemu di Makkah. Beliau sedang duduk istirahat sambil berdzikir kudekati beliau dan kami berkenalan.
Ternyata beliau pakdenya bu Munir Guru SMP 1 Parang, dimana saya bertugas.
Banyak orang Parang yang menunaikan ibadah haji. Ketika aku masih kecil yang naik haji itu hanya orang Kedungguwo. Banyak orang kaya di sana.
Tapi haji itu bukan karena kaya, bukan karena sehat, bukan karena pinter agama. Akan tetapi karena panggilan Allah.
Oleh karena itu di sana banyak yang menangis, menangis karena bersyukur. Merasa disayang dan dipilih Allah untuk menjadi tamunya.
Disana dikasih suguhan macam macam sampai tak termakan. Disana hanya ibadah, makan dan istirahat.
Mereka saling menyayangi saling ikrom (ngladeni) temannya, tak ada saling menghina, menyalahkan, merendahkan.
Saya pikir kondisi hubungan masyarakat seperti itu yang menjadi mimpi kita bersama.
Ketika di Arofah banyak cerita indah. Saya dapat memilih tempat tidur dimana saja. Karena saya datang awal. Di Muzdalifah yang banyak diberitakan orang paling berat.
Saya ditolong Allah diberi kemudahan. Sebelum subuh saya bisa masuk bus.
"Ayo mi segera antri agar bisa segera naik bus " Kataku pada istri.
Dia didepanku entah sesuatu hal Dia merasa didorong orang sehingga jauh meninggalkan Aku. Dia sering menoleh ke arahku , mungkin takut kalau berpisah . Dalam antrian Aku banyak mengalah. Kalau disalip orang ya saya persilahkan.
Disini adalah dataran luas yang diisi manusia dari berbagai penjuru dunia. Saya berpikir besuk dipadang Makassar kita ya seperti ini. Tanpa busana, tanpa alasan kaki dan matahari sepenggalan di atas kepala kita. Panas sekali, diceritakan keadaan orang-orang sampai tergenang keringat. Ada yang sebatas mata kaki, ada yang sebatas bahu, bagaimana kalau sampai tenggelam. Naudzubillah min dzalik.
Jam 03.00 saya naik Bus. "Duduk sini Bi" istriku sudah menyiapkan tempat duduk di bus. Kadang istriku memanggilku Abi, menirukan anakku yang kecil karena dulu sekolahnya di Playgrup hingga TK Islam. Sejak dulu hungga sekarang kalau memanggilku dengan sebutan "Abi".
Disepanjang perjalanan kami berdoa berdzikir mensyukuri atas apa saja yang diberikan Allah. Sambil mengenang masa lalu, "anak espege kok bisa naik haji".
Ternyata antrian di Muszdalifah itu hingga jam 13.00 siang. Panasnya 44 derajat celcius. Hingga saya dengar ada 2 orang yang meninggal dan ada beberapa yang hilang hingga pulang haji itu tidak diketemukan.
Bersambung ya.....