Selasa, 01 Desember 2020

Adzan subuh

Pagi yang sangat  indah, udara  di desa ini dingin,  27 derajat, pas dengan kondisi  tubuh, kebetulan  bulan purnama, ikut  menerangi  langkah langkah hamba yang taat  menuju  Masjid tempat  hamba yang lemah bersujud. 

Martani membuka pintu  Masjid, krekeet....., didekat  pintu  ada saklar  untuk  menyalakan lampu.  Kemudian  Dia berjalan  menuju  ampli tempat  menyalakan  speaker.  Dicarinya gagang mic berwarna hitam kusam.  
"Allaahuakbar  Allaahuakbar,  Allaahuakbar Allaahuakbar." Suara  adzan terdengar  membelah  sepinya pagi. 

Dulu 50 tahun yang lalu,  pada menjelang  subuh  banyak  mbok  bakul  menggendong  barang  dagangannya  ke pasar. 

Pemandangan  seperti itu  sekarang  sudah  tidak ada lagi. Orang  kalau  belanja  cukup  di depan rumah,  sudah ada bakul  ethek  yang siap  melayani  berbagai  kebutuhan  dapur. 

"Ya Allah  kok  melamun  jauh,  bukankah  saya  mau sholat  sunah  kokbeliyah  subuh."  Begitulah  cerdasnya  setan selalu  menggoda  manusia  untuk  lupa pada  Allah,  selalu  dibelokkan hati  ini  untuk  tidak  dzikir. Gumam Martani. 
"Dah Aku mau sholat  sunah."
Sholatnya  dikusuk  kesukaan, seolah olah  nanti  siang  akan mati. 
Kadang  kadang  hati  ini memang harus dipaksa  untuk  ingat  mati  agar kalau  sholat  pikirannya  tidak melayang  kemana-mana.  Lebih lebih  masa pandemi  kovid 19 ini, banyak  orang mati  mendadak. Siang sehat, malam meninggal. Malamnya sehat  esuk hari sudah meninggal. Jadi antara  hidup  dan mati  itu  hanya beda  tipis.  
Tapi Martani masih takut  mati,  karena anaknya  masih  kecil kecil,  dosanya  masih banyak,  amalnya  belum  banyak,  kadang  kadang  masih diajak  menggunjing  orang. Rumahnya  belum jadi, lebih lebih  cita citanya naik  haji seperti  pak Haji Umar  masih  jauh  panggang  dari  api.

"Ya Allah..., pingin sekali  rasanya  aku bisa Naik Haji seperti  pak Haji  Umar , ke tanah suci,  aku bisa sujud  di Masjidil Harom,  bisa melihat  makam  Rosuulullah." Doa Martani  tak henti  hentinya setiap  habis sholat. 

Padahal  Dia seorang guru  yang miskin,  yang secara  rasional  tak mungkin  bisa Haji bersama  orang-orang kaya. Tapi Dia paham bahwa  kalau  Allah  menolong,  tak ada yang sulit.  Disisi lain Dia juga percaya  bahwa setiap  doanya  pasti  dikabulkan  oleh  Allah. Perkara  kapan  mengabulkannya  itu  hanya masalah  waktu. Oleh  karena itu  tak lelah  mulutnya berkomat kamit seperti  berbicara  memohon lepada  Tuhan.  

Selesai  sholat  subuh,  Dia melangkahkan kaki sambil  dalam hati  berdzikir  pada Allah. Dia bersyukur  dalam kondisi  kemiskinan  yang paling pinggir,  masih  diberi  hati  yang selalu  berdzikir,  sholat  5 waktu  berjamaah  dengan tertib di Masjid. 

Banyak  orang kaya  yang tidak  bisa berdzikir,  jarang  sholat  5 waktu  di Masjid.  Barangkali  itulah  rahasia  Allah  menempatkan  posisi  Martani dalam kemiskinan yang pinggir,  agar  dia bisa merengek,  mewek  memohon  pada Allah.  Brangkali Allah  masih menghendaki  Dia sholat  sambil  menangis,  berdoa sambil  meneteskan  butiran mutiara  air mata.
Butiraan  mutiara  airmata  yang seperti  inilah  yang mahal harganya, lebih mahal dari pada mutiara terbaik  di dunia.

Setelah membaca  Al Qur'an,  Dia menyiapakan  keberangkatan ke Sekolah  tempatnya mengajar yang sudah 12 tahun ditekuninya dengan sabar.
"Aku berangkat ya Bu," Pamitnya  pada istri setianya.
Dipancalnya  sepeda motor Honda  grand  buatan Jepang tahun  94 itu. Tidak  segera  menyala, barang kali masih dingin karena  Matahari  belum  tampak.

Magetan,  1 Desember  2020.

2 komentar:

  1. Seseorang kalau dikehendaki oleh Allah baik. Maka akan dimudahkan pemahamnannya tentang Agamanya.Terima Kasih cerita Religi yg selalu diselipkan dlm literasi ..
    Tetap sehat - semangat dsn terus karya-2 selalu kudukung...semoga senantiasa melimpahkan Rahmat atas HidayahNya..kd kita semua...Aamiin.

    BalasHapus