Hari ini saya ingin menulis catatan perjalanan teman saya SPGN Magetan. Namanya Siti Aminah, Dia lulus SPG tahun 86, rumah aslinya adalah Desa Tambakrejo, sbelah timur stadion.
Setelah lulus dari SPG kemudian melanjutkan kuliah di STKIP PGRI Lamongan. Lulus kuliah tahun 92 melamar guru CPNS di terima, sehingga tahun 93 mulai berdinas di SDN Bojoasri. Sebuah desa yang terpencil saat itu, jalannya sulit, lebih lebih kalau musim penghujan, licin, harus melewati sawah sawah yang berfungsi sebagai tambak.
Dia diantar oleh seorang bapak yang bernama Suparno dari dinas Pendidikan dan Kebudayaan, saat itu namanya Dikbud. Naik sepeda motor menyusuri desa jauh sekali, jalanya sulit.
"Lho ini mau kemana pak?" sambil merasa cemas, dalam hati bertanya mau diantar kemana ini saya jalanya kok seperti ini , jauh sekali, kok kelihatan seperti terpencil dan ter... ter... lainnya.
"Iya bu ini menuju sekolah dimana ibu bertugas," Jawab pak Parno yang baik hati ini, sambil mengemudikan "honda", sepeda motor tua keluaran pabrik yang pertama.
Menurut dia kedatangannya tidak diterima spenuh hati oleh masyarakat. Karena cerita awalnya tanah yang digunakan untuk mendirikan SD itu adalah tanah wakaf. Pihak muwakif (orang yang mewakafkan ) ingin agar tanahnya digunakan untuk membangun SD ( Sekolah Dasar ), tapi pihak masyarakat ingin didirikan sekolah MI. Akhirnya tetap didirikan SD.
Berawal dari situ, masyarakat tidak sepenuh hati menyekolahkan anak-anaknya di situ. Dari apa yang diceritakan dapat saya pahami bahwa pandangan masyarakat tentang pendidikan masih rendah, itu "tempo doeloe".
Masyarakat baik laki-laki maupun perempuan memakai sarung. Sehingga ketika bu Siti datang kesana pakai celana Jean dipandu dengan atasan hem, masyarakat dan anak anak melihat seperti itu sebagai pemandangan yang aneh.
Kalau musim penghujan istri pak Jwd ini, berangkat ke sekolah pakai perahu, karena pasti banjir dan kedalamannya mencapai 2 meter. Sudah bersusah payah ke sekolah seperti itu, muridnya tidak ada yang datang. Ada beberapa yang datang itu malah berenang.
"Lho kamu kok tidak pakai perahu nak," sapa bu siti pada anak anak yang datang sambil berenang dengan tas dipanggul di punggungnya. Jangan bertanya pakai celana pendek atau tidak, hanya bu Siti yang tahu. Yang ini tidak diceritakan. "Disensor".
"Perahunya di pakai bapak saya ke tambak bu," jawab anak-anak, sambil menggigil kedinginan. Bapaknya kok ya tega ya membiarkan anaknya pergi ke sekolah sambil berenang. Anak- anak Lamongan pandai berenang, karena lahir di daerah banjir, jadi berenang merupakan pembelajaran pertama yang dialami sejak sebelum sekolah.
Teringat teman teman saya semasa kuliah di IKIP Surabaya, mereka betul betul berjuang untuk bisa sekolah di Surabaya. Teman teman saya rata-rata memiliki pemahaman agama yang baik, sholatnya rajin, hubungan dengan teman-temannya juga baik, saling menghormati, saling menghargai dan saling menyayangi.
Teringat juga tenda biru pak Ari, seorang penjual ayam goreng yang mangkal di depan SMP 3 Maospati. Dia merantau dari daerah asalnya, Lamongan untuk mengadu nasib di Magetan, karena mengingat masa kecilnya yang sering kebanjiran ketika musim penghujan, kalau sekolah harus berenang seperti muridnya bu Siti Aminah.
Tetangga saya namanya Pak Pariyo, bahkan masih ada hubungan saudara dengan keluarga saya, beliau pertama ditugaskan di Lamongan, sekitar tahun 70 an. Beliau alumni SPGN Magetan juga. Kalau liburan sekolah itu pulang ke Magetan jemari tangannya dan anak istrinya terkena penyakit gudik.
Tapi itu semua adalah "tempoe doeloe", seiring dengan majunya pendidikan dan jaman orang-orang lamongan bisa memberdayakan tambaknya dengan baik, sehingga produktifitasnya tinggi, akhirnya perekonomian semakin baik dan maju sehingga banyak orang-orang kaya di Lamongan.
Sekarang bu Siti sudah pindah di SD Mungli Kec Kalitengah, yang berjarak 1 km dari rumahnya. Dia sedang berbahagia dengan suami dan 2 anaknya yang sekarang sedang menimba ilmu di Malang, dan yang kecil di MAN Lamongan.
Di sekolahnya ada 10 orang guru yang terdiri dari 6 PNS dan 4 GTT/PTT. , Dengan jumlah siswa 107 anak.
Selamat berkarya bu Siti, perjuangan penjenengan masih sangat dibutuhkan untuk mendidik dan mengajar anak bangsa untuk memiliki karakter yang baik sehingga memiliki wawasan dan cara berpikir yang luas , saling menghormati, saling menghargai sehingga menjadi anak-anak hebat berakhlak mulia tempat kita berlindung dihari tua sampai akhir menutup mata.
Magetan, 14 September 2020
Ingat masa sekolah berkesan sekali
BalasHapusSaat hujan bersepeda onthelku. Mengayuh terus pedal kehidupan yg terasa, senang susah bwrhambur jadi satu, Pak No, ya. Dengan keterbatasan ekonomi orang tua, kita bersyukur satu diantara kita jalani, sudah nampak hasilnya
Salam kreatif jalani roda kehidupan ini.
Iyaa mas, harus banyak bersyukur, jaga kesehatan, perbanyak sabar, tidak mudah marah dan selalu tersenyum
Hapus👍👍👍
BalasHapusTerharu sekali isi cerita ini selain mengingatkan tentang SPGN Magetan krn alm.Prajitna ( bpk saya ) kmdn dgn berjlnnya waktu Allah kasih kesempatan kita utk bertemu..sungguh luar biasa. Pak Parno Bu Siti semua murid bapak sekelumit cerita adalah bgian dr kehidupan semua sdh ditata sama Allah
BalasHapusTerus berjuang berkarya Allah senamtiasa meletakkan kita oada derajad yg Mulia...disisiNya....good luck
terimakasih mbak Niken, ini muridnya pal Prayit, dibalik itu ada cerita yang lebih mengharukan lagi
BalasHapusMbak Aminah ....kita pernah satu kost
BalasHapusSemoga mulia hatinya seperti dulu ya...
Pak Parno teruslah berkarya