Ketika masih kecil saya mengikuti ibu untuk badan, istilah sungkeman hari raya saat itu.
Nenek saya duduk di tikar pandan. Ibu saya menangkupkan tanganya seperti menyembah begitu.
Tangan ibu digenggam erat oleh nenek, kemudian ibu saya mengucapkan kata-kata yang panjang, saya tak tahu artinya. Setelah itu jawaban nenek juga panjang yang tak satupun aku mengerti.
Giliran saya hanya berjabat tangan dan tidak mengatakan apa-apa karena tidak tahu apa yang musti dikatakan.
Seperti itu saya alami sampai kelas 3 SD.
Kemudian suatu saat saya badan bersama teman-teman ke tetangga , mereka mengatakan "badan e lahir batin mbah". Kemudian simbah menjawab "iyo lhe podo podo".
Tak puas seperti itu saya kemudian minta diajari ibu apa yang harus saya katakan.
Seperti mantra sakti yang harus dibaca ketika sungkeman. Ini yang diajarkan ibu saya.
"Kulo nuwun mbah
Sowan kulo wonten ngarsanipun simbah ngaturaken sungkem pangabekti. Wonten tindak kulo sepecak rembag kulo sekecap ingkang nerak sarak, nyuwun pangapunten dateng simbah. Soho nyuwun tambahing pangestu.
Kemudian simbah memberikan jawaban.
"Iyo ngger siro ngaturake pangabekti yo wis tak tompo, aku wong tua akeh luputku , luputku lan luputmu mugo lebur sempurna ing dino riyoyo iki yo ngger.
Nanduro pandan kurung , ringin kurung. Doyong doyong jejegno, alum-alum siramono, sing nyirami anak putuku kabeh yo ngger.
Tak pepuji mugo mugo lehmu sinahu pinter kasembadan opo kang dadi sedyamu ya ngger."
Kemudian kami dipersilahkan untuk makan jajan yang ada di rodong yang diletakkan diatas tikar pandan. Tidak ada meja kursi saat itu. Semua jajanan dibuat sendiri, tak ada roti. Tak ada jajan kalengan yang dibuat pabrik.
Yang ada seperti rengginan, likak likuk, madu mongso, jadah, jenang, jrangking, criping ketela, kacang goreng tape ketan ireng dan lain lain. Makin kaya simbah makin penuh jajanan yang tersedia. Minumnya teh dan kopi.
Kemudian simbah mengeluarkan uang dari bundelan yang ada di stagen. Melepaskannya lama sekali , karena bundelanya terlalu "kenceng" sambil kami berharap nanti "disangoni" simbah.
Sungkeman sekarang sudah tidak ada seperti yang diajarkan ibu dan dikatakan simbah.
Bahkan ada yang nyaris tak mengatakan apa apa sambil tersenyum dan berjabat tangan.
"Piye to kihhh" . Tapi ada juga yang berjabat tangan dan mengatakan mohon maaf lahir batin. Jawabnya, "sama-sama."
Saya terhadap orang tua, misalnya mertua, saya mengucapkan, " Ngaturaken sungkem pangabekti Pak, wonten kelepatan kulo nyuwun agunging samudro pangaksami soho nyuwun tambahing pangestu."
Orang sekarang mungkin tak suka berpanjang kata berwaktu lama , sehingga mengambil kata- kata esensial yang praktis saja.
Sungkeman ini budaya Jawa yang adi luhung, tidak bertentangan dengan agama. Justru dianjurkan. Sungkeman termasuk budi dan akhlak yang baik.
"Berbudilah dengan akhlak yang baik kepada manusia.” (HR. Al-Tirmidzi)
Selamat hari raya idul fitri 1443 H.
Magetan, 5 Mei 2022
Alhamdulillah
BalasHapusMinal aidzin wal Faidzin. Mohon maaf lahir dan batin.
BalasHapusMatur sembah nuwun Mas Prof. Naim
HapusSama-sama Mas Prof. Mohon maaf lahir batin
BalasHapusBadane lahir batin pak No...nyuwun pangapunten njih lepat kula.mugi icalo ing dinten riaya menika.
BalasHapusNgaten njih pak No badane jama mileniun digawe lumrah mawon...hhhh
Njih Pakde , leres saestu
HapusSempat mendapatkan cerita dari seorang kawan beberapa tahun silam tentang budaya ini, baru tahu redaksi pengucapan sungkeman y sekarang dan tidak faham artinya
BalasHapusTapi saya sepakat dengan pernyataan penulis . 👍
Terima kasih Ovi
Hapus