Saya menikah keluargaku bertambah, saudaraku bertambah , Bapak Ibuku bertambah. Yaitu Bapak Ibu Mertua. Namanya pak Kasbi dan Bu Maini.
Bapak seorang guru MI, Ibu seorang ibu rumah tangga. Beliau termasuk type orang yang pekerja keras. Disamping sebagai PNS beliau juga menggarap sawah walaupun tidak luas, sekitar 0.5 hektare.
Dalam tulisan ini saya hanya menceritakan sisi positifnya saja, bagaimana ketika kami hidup satu atap.
Rumah beliau termasuk besar, rumah Joglo, rumah tradiaional yang tengahnya menjulang keatas. Di desa kami rumah Joglo adalah kebanggaan. Kami tinggal di desa Klagen, desa yang terkenal sebagai lumbung padinya Magetan.
Bapak Ibu mertuaku memiliki tabiat yang berbeda dengan Bapak Ibuku sendiri. Bapak Ibuku tak banyak bicara. Tapi tidak dengan Bapak Ibu mertuaku. Tapi semua yang dikatakan positif saja.
Seperti "manten anyar" pada umumnya kebutuhan makan keseharian ditanggung Mertua, gaji saya penuh. Akhirnya saya gunakan untuk melanjutkan kuliah , mengambil S1 di Wima Madiun. Sebelumnya saya alumni D3 IKIP Surabaya lulus tahun 89 dan diangkat tahun 92.
Tahun 94 kami menikah, tahun itu juga saya melanjutkan kuliah. Istriku malah belum lulus. Jadi konsentrasi kami adalah kuliah.
"Pak saya masih ingin melanjutkan kuliah." Kataku pada suatu waktu.
" Iya gak papa, malah Siti barang biar transfer S1, biar mungkur nanti." Jawab Bapakku.
Siti adalah istriku, saat itu masih kuliah D3, kemudian transfer S1 di IKIP PGRI Madiun.
Hari-hari selalu kami lalui dengan sibuk. Kalau pagi kerja, kalau sore kuliah, saya yakin suatu saat nanti guru SMP itu harus S1. Daripada besok kami sudah tua disuruh kuliah lagi lebih baik, sekarang (1994) kami kuliah. Masih muda otak masih encer tenaga masih fit.
Dua tahun saya menyelesaikan S1, alhamdulillah lulus terbaik. Saya mendapatkan hadiah sebagai wisudawan terbaik. Hati saya berbunga-bunga bahagia tak terlukiskan dengan kata-kata. Ini adalah hadiah akademik kedua setelah lulus dari IKIP Surabaya. Saat itu saya juga lulus terbaik sehingga bisa diangkat CPNS lebih awal meninggalkan 13 temanku yang lain.
Selesai kuliah S1, keuanganku mulai sehat lagi. Kami berfikir tak mungkin selamanya hidup menumpang pada Mertua. Saya malu kalau ditanya orang , " tinggal dimana?" "Tinggal di Pondok Mertua Indah."
Apa kata dunia?
Maka kami merencanakam membuat rumah. Saya gambar rumah sederhana saya tunjukkan pada istriku.
"Sayang kita suatu saat nanti akan membuat rumah seperti ini". Tanganku menunjukkan gambar rumah yang saya buat dengan sederhana. Istriku merapat padaku. Dari raut wajahnya saya tahu , dia bahagia sekali. Wajahnya berseri seri, tampak lebih cantik dari biasanya.
"Wah indah sekali mas", Dia memandangiku dengan penuh tanda tanya. Tidak tahu pertanyaan pertanyaan apa dilubuk hatinya yang jelas Dia bahagia.
Jadi menyenangkan hati wanita itu mudah saja ternyata, digambarkan rumah dengan dijelaskan ini untuk ruang tamu , ini untuk ruang keluarga, yang ini ruang tidur anak-anak. Nah yang besar ini ruang tidur kita. Begitu saja hatinya sudah berbunga bunga.
Apalagi dibangunkan rumah sungguhan pasti merasa bahagia tak terhingga.
Cerita mau membangun rumah akhirnya sampai ditelinga Mertua. Akhirnya aku dipanggil.
"Katanya mau membuat rumah?" Tanya Bapak Mertuaku sambil menghidupkan sebatang rokok gudang garam Surya yang sudah dijepit kedua bibirnya.
"Inggih Bapak, tapi baru rencana". Jawabku sambil menahan malu. "Baru rencana saja sudah heboh, waduh malu aku." Pikirku dalam hati.
"Kalau begitu nanti saya bantu semua kusen -kusen pintu dan jendelanya." Lanjut Bapakku.
"Sudah ada Bapak? Jawabku sedikit berbohong. Saya bermaksud membuatnya rumah itu mandiri tidak merepotkan orang tua.
Kemudian untuk menghapus kebohongan saya itu, saya pinjam BRI, kemudian saya belikan kusen pintu dan jendela.
Tiga tahun kemudian saya dipanggil Mertua lagi. Saya datang bersama istriku. Sambil menggendong anak pertama yang baru berumur 1 tahun.
Hatiku agak nerves , ada apa ini?
Bersambung.......
Alhamdulillah
BalasHapus